1.
Definisi Leadership
·
Menurut John Piffner, Kepemimpinan merupakan seni dalam mengkoordinasikan dan
mengarahkan individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki
(H. Abu Ahmadi, 1999:124-125).
(H. Abu Ahmadi, 1999:124-125).
·
Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung
melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu
(Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).
(Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24).
·
Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti Kepemimpinan)
pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai
tujuan
(Jacobs & Jacques, 1990, 281)
(Jacobs & Jacques, 1990, 281)
·
Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan, proses, atau fungsi pada umumnya untuk
mempengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan
tertentu.
(Slamet, 2002: 29).
(Slamet, 2002: 29).
·
Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7).
·
Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang
diatur untuk mencapai adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan
langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan
tertentu
(Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 29).
(Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 29).
·
Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar
supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Thoha, 1983:123).
·
Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat
kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan, untuk dijadikan sebagai sarana
dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada
kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa.
2.
Teori Kepemimpinan Partisipatif.
a.
Teori X dan Y dari Mc Douglas
1. Teori X
Teori X menyatakan bahwa pada dasarnya manusia
adalah makhluk pemalas yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari
pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Individu yang
berperilaku teori X mempunyai sifat : tak suka dan berusaha menghindari kerja,
tak punya ambisi, tak suka tanggung jawab, tak suka memimpin, suka jadi
pengikut, memikirkan diri tak memikirkan tujuan organisasi, tak suka perubahan,
sering kurang cerdas.
Contoh individu dengan teori X : pekerja
bangunan.
Keuntungan Teori X : Karyawan bekerja untuk
memaksimalkan kebutuhan pribadi.
Kelemahan Teori X :
a. Karyawan malas
b. Berperasaan irrasional
c. Tidak mampu mengendalikan diri dan disiplin
2.
Teori Y
Teori Y memiliki anggapan bahwa kerja adalah
kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Individu yang
berperilaku teori Y mempunyai sifat : suka bekerja, commit pada pekerjaan, suka
mengambil tanggung jawab, suka memimpin, biasanya orang pintar.
Contoh orang dengan teori Y : manajer yang
berorientasi pada kinerja.
Keuntungan teori Y :
a. Pekerja menunjukkan kemampuan pengaturan diri,
b. Tanggung jawab,
c. Inisiatif tinggi,
d. Pekerja akan lebih memotivasi diri dari
kebutuhan pekerjaan.
Kelemahan Teori Y : Apresiasi diri akan terhambat
berkembang karena karyawan tidak selalu menuntut kepada perusahaan
b. Teori Sistem 4 dari Rensis Likert
Asumsi
Dasar
Bila
seseorang memperhatikan dan memelihara pekerjanya dengan baikmaka operasional
organisasi akan membaik. Fungsi-fungsi manajemen berlangsung dalam empat
sistem:
1. Sistem
pertama : sistem yang penuh tekanan dan otoriter dimana segala
sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak memerlukan umpan balik.
2. Sistem
kedua : sistem yang lebih lunak dan otoriter dimana manajer lebih
sensitif terhadap kebutuhan karyawan.
3. Sistem
ketiga : sistem konsultatif dimana pimpinan mencari masukan dari karyawan.
4. Sistem
keempat : sistem partisipan dimana pekerja berpartisipasi aktif dalam membuat keputusan.
c.
Teori of Leadership
Pattern Choice dari Tannebaum dan Schmidt Model Leadership Continuum
Teori
ini merupakan hasil pemikiran dari Robert Tannenbaum dan Warren H.Schmidt.
Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard (1994) berpendapat bahwa
pimpinan mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa cara, yaitu dari cara yang
menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan perilaku otokratis sampai dengan
cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya yang disebut dengan perilaku
demokratis.
Perilaku
otokratis, pada umumnya dinilai bersifat negatif, dimana sumber kuasa atau
wewenang berasal dari adanya pengaruh pimpinan.
Perilaku
demokratis, perilaku kepemimpinan ini memperoleh sumber kuasa atau wewenang
yang berawal dari bawahan.
Menurut
teori continuum ada tujuh tingkatan hubungan pemimpin dengan bawahan:
1. Pemimpin membuat dan
mengumumkan keputusan terhadap bawahan (telling).
2. Pemimpin menjualkan dan
menawarkan keputusan terhadap bawahan (selling).
3. Pemimpin menyampaikan ide
dan mengundang pertanyaan.
4. Pemimpin memberiakn
keputusan tentative dan keputusan masih dapat diubah.
5. Pemimpin memberikan problem
dan meminta sarang pemecahannya kepada bawahan
(consulting).
6. Pemimpin menentukan
batasan-batasan dan minta kelompok untuk membuat keputusan.
7. Pemimpin mengizinkan
bawahan berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan (joining).
Jadi,
berdasarkan teori continuum, perilaku pemimpin pada dasarnya bertitik tolak
dari dua pandangan dasar:
1. Berorientasi kepada
pemimpin.
2. Berorientasi
kepada bawahan.
d.
Modern Choice
Approach to Participatio Konsep Decision Tree of Leadership dari Vroom &
Yetton
Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah
membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para pemimpin sering
kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama
dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat
menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas pentingnya. Pemimpin yang
mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang
dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan baik.
Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan
keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan
meningkatkan produktivitas.
Normative Theory dari Vroom and Yetton sebagai berikut :
· AI
(Autocratic) : Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan secara
unilateral, menggunakan
informasi yang ada.
· AII
(Autocratic) : Pemimpin memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun
setelah membuat keputusan unilateral.
· CI
(Consultative) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara
perorangan, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
· CII (Consultative)
: Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam
rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
· GII (Group
Decision) : Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok
dalam rapat; Keputusan diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus.
Dalam memilih alternatif-alternatif pengambilan keputusan
tersebut para pemimpin perlu terlebih dahulu membuat pertanyaan kepada diri
sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilan keputusan yang tinggi diperlukan,
apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang
berkualitas tersebut, apakah permasalahannya telah terstruktur dengan baik.
Dalam kaitannya dengan penerimaan keputusan, pemimpin harus bertanya, apakah
sangat penting untuk efektifitas implementasi para bawahan menerima keputusan,
apakah para bawahan menerima tujuan organisasi yang akan dicapai melalui
pemecahan masalah ini.
· Normative
Theory: Rules Designed To Protect Decision Quality (Vroom & Yetton, 1973).
· Leader Information Rule: Jika kualitas
keputusan penting dan anda tidak punya cukup informasi atau ahli untuk
memecahkan masalah itu sendiri, eleminasi gaya autucratic.
· Goal
Congruence Rule: Jika kualitas keputusan penting dan bawahan tidak suka untuk
membuat keputusan yang benar, aturlah keluar gaya partisipasi tertinggi.
· Unstructured
Problem Rule: Jika kualitas keputusan penting untuk anda kekurangan cukup
informasi dan ahli dan masalah ini tidak terstruktur, eliminasi gaya
kepemimpinan autocratic.
· Acceptance Rule:
Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif,
eliminasi gaya autocratic.
· Conflict Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah
krusial untuk implementasi efektif, dan mereka memegang opini konflik di luar
makna pencapaian beberapa sasaran, eliminasi gaya autocratic.
· Fairness
Rule: Jika kualitas keputusan tidak penting, namun pencapaiannya penting, maka
gunakan gaya yang paling partisipatif.
· Acceptance
Priority Rule: Jika persetujuan adalah kritikan dan belum tentu mempunyai hasil
dari keputusan autocratic dan jika bawahan tidak termotivasi untuk mencapai
tujuan organisasi, gunakan gaya yang paling partisipatif.
Model ini membantu pemimpin dalam menentukan gaya yang
harus dipakai dalam berbagai situasi. Tidak ada satu gaya yang dapat dipakai
pada segala situasi. Fokus utama harus pada masalah yang akan dihadapi dan
situasi di mana masalah ini terjadi. Gaya kepemimpinan yang digunakan pada satu
situasi tidak boleh membatasi gaya yang dipakai dalam situasi lain.
Hal-hal yang harus diperhatikan :
1. Beberapa
proses sosial mempengaruhi tingkat partisipasi bawahan dalam pemecahan masalah
2. Spesifikasi
kriteria untuk menilai keefektifan keputusan yang termasuk dalam keefektifan
keputusan antara lain : kualitas keputusan, komitmen bawahan, dan pertimbangan
waktu.
3. Kerangka
untuk menggambarkan perilaku atau gaya pemimpin yang spesifik.
4. Variabel
diagnostik utama yang menggambarkan aspek penting dari situasi kepemimpinan.
e.
Contigency
Theory of Leadership dari Fiedler
Kepemimpinan
tidak akan terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan. Para pemimpin
mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan
situasi-situasi yg spesifik. Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang
dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa
tidak ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik.
Namun, sebagaimana telah kita pahami bahwa strategi yg paling efektif mungkin
akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya.
Penerimaan
kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang
dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency
Approach. Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku
pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas
kepemimpinan. Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin
kepada kesuksesan kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh kedua hal
yakni karakteristik pemimpin dan dan oleh berbagai variasi kondisi dan situasi.
Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua hal tersebut
harus dipertimbangkan.
Fiedler
memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan
orientasi pada tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC,
yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang atau hubungan baik dengan
orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi.
Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin
dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat.
Model
kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model
tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja
kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan
kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya.
Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan
ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor
tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations),
struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan
antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti
petunjuk pemimpin.
Misalnya:
Meminta orang tertentu untuk bekerja dalam
kelompok
Memindahkan bawahan tertentu ke luar dari unit
Sukarela mengarahkan, mengajarkan dan
menegur bawahan yang bandel atau sulit diatur
Struktur tugas menjelaskan sampai
sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai
sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci
dan prosedur yang baku.
Misalnya:
·
Jika mungkin, memberikan tugas baru atau tidak biasa pada kelompok
·
Bagi tugas menjadi subtugas yang lebih kecil sehingga lebih terstruktur
Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh
mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya
diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting
dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga
menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya
dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat
(demotions).
Misalnya:
· Tunjukkan
pada bawahan siapa yang berkuasa dengan menerapkan seluruh otoritas yang Anda
miliki
·
Pastikan informasi pada kelompok hanya dapat diperoleh melalui anda
·
Biarkan bawahan berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan
f.
Path Goal
Theory
Salah
satu pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal. Teori path-goal
adalah suatu model kontingensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert
House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang
kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori
pengharapan motivasi.
Dasar
dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya
dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya
yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau
organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan
bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari
awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran
disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls
(Robbins, 2002).
Teori
Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku
individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan
valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan
produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang
mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model
path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang
membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.
Menurut
teori path goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada
tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu
atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1)
membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif,
dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan
dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert
House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter
directive-leader, supportive leader, participative leader dan
achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang
perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori
path goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa
atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).
Model
kepemimpinan path goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam
berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh
motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya.
Teorinya disebut sebagai path goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan
mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri,
dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model
path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1. Fungsi Pertama yaitu memberi kejelasan
alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam
memahami bagai mana cara kerja yang diperlukan dalam menyelesaikan tugasnya.
2. Fungsi Kedua yaitu meningkatkan jumlah
hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap
kebutuhan pribadi mereka.
Untuk
membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya
kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal
sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003):
1. Kepemimpinan
pengarah (directive leadership)
Pemimpinan
memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan
jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan
bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas
tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan
pengawasan.
2. Kepemimpinan
pendukung (supportive leadership)
Pemimpin
bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga
memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka,
status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan
hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok.
Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap
kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3. Kepemimpinan
partisipatif (participative leadership)
Pemimpin
partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide
mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat
meningkatkan motivasi kerja bawahan.
4. Kepemimpinan
berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan
dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk
berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan
prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dengan
menggunakan salah satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan
faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha
untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan
motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan
tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang
efektif.
DAFTAR
PUSTAKA
Bass, B.M., 1960, Leadership,
Psychology and Organizational Behavior, Harper and Brothers, New York.
Bennis, W.G. and Nanus, B., 1985,
Leaders: The Strategies for Taking Charge, Harper and Row, New York.
Fiedler, F.E., 1967, A Theory of
Leadership Effectiveness, McGraw-Hill, New
York.
Malawi, Ibadullah (dkk). 2010. Profesi
Kependidikan. Madiun: IKIP PGRI Madiun.
Nawawi, Hadari dan Martini Hadari.
2004. Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
0 komentar:
Posting Komentar