Sejak
dikembangkannya perangkat lunak Netscape pada awal dekade 1990‐an,
internet menjadi bagian dari gaya hidup baru di seluruh dunia. Perangkat lunak
tersebut memungkinkan para pengguna internet yang semula berbasis teks (text‐based
internet) untuk beralih menikmati kecanggihan pertukaran informasi berbasis
gambar (graphic‐based internet). Perkembangan perangkat keras dan
perangkat lunak komputer berbasis gambar yang sangat pesat menjadikan pengguna
jasa internet menjadi semakin dimanjakan dengan tampilan, isi informasi,
fasilitas, serta unjuk kerja internet. Pengguna internet dapat memanfaatkan
perangkat lunak webbrowsing untuk mengakses beraneka ragam informasi. Keragaman
informasi inilah yang tampaknya menjadikan mereka tahan berlama‐lama
di depan komputer. Mereka dapat melakukan
mail
list (news group), chatting atau ngobrol dengan cyberfriends, dan melakukan teleconferencing
melalui vasilitas VOIP (voice over internet protocol). Keragaman dan kemudahan
yang ditawarkan internet menjadikan curahan waktu untuk menggunakannya menjadi
semakin meningkat. Peningkatan curahan waktu dan penggunaan internet yang
sangat intensif ini menimbulkan berbagai permasalahan yang di kalangan para
ahli psikologi dikenal antara lain sebagai kecanduan internet (internet
addiction).
Dengan demikian kata addiction lebih sesuai untuk diterjemahkan sebagai
kecanduan. Kecanduan sebagai kata bentukan di dalam bahasa Indonesia digunakan
untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang mengalami ketergantungan
kepada candu (opium). Penggunaan istilah kecanduan di dalam bahasa Indonesia
tersebut memiliki kesamaan dengan konsep addiction yang digunakan di dalam
bidang psikiatri yang lebih dikenal sebagai Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorder atau DSM‐IV (American Psychiatric
Association, 1995) dan sama pula dengan difinisi Chaplin (1975). Pada
prinsipnya, addiction berkaitan dengan ketergantungan seseorang terhadap substance
atau zat yang merugikan tubuh (substance abuse).
Sebagai
sebuah istilah, kata ‘ketergantungan’ lebih sering digunakan
di
dalam percakapan sehari‐hari dibandingkan dengan kata ‘kecanduan’.
Ketergantungan,
atau di dalam bahasa Inggris bersinonim dengan kata
‘dependence’,
dianggap lebih sesuai untuk menggambarkan kondisi seseorang yang mengalami
dependensi terhadap zat‐zat adiktif. Davis (2001a) pun memaknai kecanduan (addiction)
sebagai bentuk ketergantungan secara psikologis antara seseorang dengan suatu
stimulus, yang biasanya tidak selalu berupa suatu benda atau zat. Di dalam DSM‐IV
tidak digunakan kata atau istilah addiction untuk menggambarkan penggunaan
secara patologis atau berlebihan pada suatu stimulus. DSM‐IV
menggunakan istilah dependence untuk kecanduan pada suatu stimulus secara pathological,
misalnya ketergantungan untuk berjudi.
Internet Sebagai Sumber Informasi:
Internet ( yang dikenal dengan nama information superhighway) merupakan
singkatan dari inter-networking. Sesuai dengan
kepanjangannya, internet terdiri dari sekumpulan jaringan
komputer milik perusahaan, institusi, lembaga pemerintah, ataupun penyedia
jasa jaringan (ISP/internet service provider) yang
saling terhubung dimana masing masing jaringan
komputer yang dikelola secara independen.
Pengembangan internet sendiri sebenarnya sudah
mulai dirintis sejak tahun 1960-an sebagai
proyek dari departemen pertahanan amerika serikat.
Internet menjadi salah satu media yang
dijadikan sumber
informasi
paling populer antar mahasiswa perguruan tinggi di dunia. Suatu sumber
informasi menurut Murtonen adalah pembawa
informasi yang terpercaya dan dapat memberikan kepuasan
dalam memenuhi kebutuhan informasi (Bystrom, 1999). Penggunaan internet telah
menjadi
sebuah gaya hidup (life style) bagi sebagaian besar mahasiswa perguruan
tinggi di seluruh dunia. Bagi mereka internet adalah sebuah alat
fungsional yang telah mengubah cara seseorang berinteraksi dengan orang
lain, maupun dalam menemukan informasi. Banyak diantara mahasiswa yang
menggunakan internet untuk menyelesaikan berbagai kepentingan akademis,
baik itu dilakukan melalui pertukaran e- mail dengan fakultas,
teman sebaya, atapun kepentingan lainnya. Disamping itu sebagaian
mahasiswa juga mengakses katalog on-
line,
database bibliografi , dan sumber informasi lainnya
dalam bentuk grafik, teks, dan gambar melalui world wide
web (WWW) ( asan & koca, 2006 dalam bashir et al, 2008) Usun (2003)
dalam Bashir et al.(2008) mengungkapkan bahwa internet
menarik bagi mahasiswa di perguruan tinggi untuk sejumlah alasan yaitu :
(1) mengurangi jeda waktu antara produksi dan pemanfaatan pengetahuan;
(2) mempromosika kerja sama internasinal dan pendapat; (3)
berbagai informasi; dan (4) mempromosikan
penelitian multidisiplin. Dalam survei penggunaan internet pada mahasiswa
pertanian dari perguruan tinggi Amerika,
Rhoades
et al. (2007) menemukan bahwa sebagaian besar mahasiswa menggunakan search
engine pada saat online. Mayoritas dari mereka cenderung melihat internet
sebagai pilihan yang baik dalam menemukan informasi,
mudah dimengerti, menguntungkan, dapat dipercaya,
kredibel, dan akurat. Sementara Asan dan Koca (2006) mengungkapkan
bahwa mayoritas mahasiswa memiliki sikap postif
terhadap internet. Sehingga hal inilah yang
mendorong mereka untuk menggunaka internet sebagai sumber informasi yang
diperlukan. Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Sharma et al.
(2006), yang mengungkapkan bahwa mahasiswa menggunakan internet untuk
mendapatkan informasi atau untuk keperluan penelitian. Kebanyakan dari mereka
lebih menyukai internet karena dianggap sebagai sumber pengetahuan terbaru
(Bashir et al., 2008). Dalam hal ini banyak diantara
mahasiswa yang menggambarkan internet sebagai alat
fungsional yang membantu mereka untuk berkomunikasi
dengan profesor, melakukan penelitian, dan mengakses bahan perpustakaan.
Disamping itu, Qureshi (2002) menambahkan bahwa semakin paham
seseorang terhadap sumber sumber informasi yang ada, maka akan menyebabkan
orang tersebut paham terhadap cara cara menemukan informasi yang dibutuhkan
sehingga akan meningkatkan kemampuan dalam memanfaatkan media informasi yang
ada. Peningkaan kebutuhan informasi pada masyarakat
informasi, khususnya kalangan akademik dirasakan semakin meningkat
akibat adanya saling keterkaitan dan ketergantungan individu terhadap informasi.
Diantara banyak kebutuhan manusia, kebutuhan yang paling mencolok
peningkatannya adalah kebutuhan akan informasi.
Oleh karena itu pemilihan sumber informasi menentukan
seseorang terhadap pemenuhan kebutuhannya. Disamping itu, pemilihan sumber
informasi seseorang juga didasarkan pada pola kebiasaan. Meyers, Nathan, dan
Saxton (2006) menyatakan bahwa pola kebiasaan diartikan bila di masa lalu
sebuah
sumber
informasi dapat memenuhi kebutuhan seseorang maka
ia akan cenderung menggunakan sumber informasi tersebut untuk waktu
selanjutnya. Leckie dkk. (1996) dalam Ishak (2006) menambahkan
bahwa pengetahuan seseorang tentang sumber
informasi (awareness of information sources) yang
akan digunakan, seperti kecepatan akses
(accessibility), kualitas (quality), ketepatan waktu
(timeliness), kepercayaan (trustworthiness), kebiasaan (familiarty)
dan keberhasilan sebelumnya (previous success) akan
berdampak lansung pada pelaksanaan pencarian
informasi (information is sought). Sehingga hal
inilah yang mendorong seseorang untuk memilih media yang tepat sebagai
sumber informasi bagi pemenuhan kebutuhannya.
Kebutuhan Informan untuk Self-Improvement
Penemuan
lain yang tidak ada dalam asumsi teoretis penelitian ini adalah kebutuhan
informan untuk melakukan
self-improvement. Hal ini diungkapkan oleh informan (MN) seperti dalam
transkrip wawancara berikut ini:
“P: Pas mba nulis, mba nulis ada keinginan untuk dibaca orang, atau
gimana, why do you write things? Tentu
selain karena suka selain karena ini, ada harapan apa ketika mba
nulis?
M: Buat gue nulis tuh melatih gue sendiri. Kalo gue kesel, itu
mengalihkan kekesalan gue”.
“P: Selalu relief-kah?
M: Lumayan. Soalnya gue udah ngga mikirin lagi kenapa gue kesel,
dan ketika gue baca tulisan gue lagi dan
selalu baca tulisan gue sendiri, gue bisa menganalisa gue tuh kayak
gini-gini. Itu juga ngingetin diri gue untuk
ngga gini, gini, gini. Dan itu juga bisa mengingatkan lo untuk
tidak melakukan itu lagi (kesalahan yang sama)”.
Informan
menyatakan bahwa ketika ia menulis di blog-nya, ada perasaan lega yang ia
dapatkan. Menulis adalahsarana informan untuk mengalihkan kekesalannya. Menulis
membuat informan dapat melatih dirinya sendiriuntuk kembali membaca dan
menganalisis masalahnya. Informan juga merasa bahwa ketika ia menulis di
blog,ia bisa menganalisis dirinya, emosinya, masalahnya. Ketika informan
membaca kembali tulisannya, tulisantersebut mengingatkan informan untuk tidak
lagi membuat kesalahan yang sama seperti sebelumnya.
Informan
MIH juga menunjukkan hal yang serupa dalam transkrip berikut ini:
P
: Ada perubahan pada dirimu yang kamu rasakan sejak mulai intens
berinternet?
I
: Perubahan apa ya?.. ya yang pasti kayanya internet udah ngerubah banyak
orang ya.. khususnya cara
pandang kita terhadap dunia.. ya yang pasti gw pikiran jadi lebih
terbuka.. lebih banyak wawasan yang gw
peroleh.. gw ga jadi gaptek.. penasaran gw terhadap sesuatu hal
jadi lebih tinggi.. karena gw jadi sadar betapa
banyak hal yang gw belum tau.. tapi yang pasti internet bantuin gw
memperdalam ilmu music gw…
Informan MIH mengakui bahwa internet telah mengubah pandangannya tentang dunia.
Internet, diakuiinforman, membuat pikirannya lebih terbuka, menambah wawasan
yang ia miliki, melatih skill-nya berteknologi,menambah rasa ingin tahu
lebih banyak dan dalam tentang suatu hal dalam diri informan. Selain itu,
berinternet,juga diakui informan, membantunya dalam mempelajari dan memperdalam
ilmu musiknya.
Informan
yang lain, D, mengungkapkan self-improvement yang terjadi pada dirinya
karena kecanduannya padainternet. Berbeda dengan dua informan sebelumnya, D
mengungkapkan bahwa self-improvement yang terjadi
pada
dirinya adalah dalam bentuk fisik. Kecanduannya pada internet membuat D
kemudian terdorong untukmembuka warung internet (warnet). Usaha ini, diakui
informan, telah mendatangkan pemasukan yang lumayan
bagi
dirinya.
Untuk
poin self-improvement ‘fisik’ ini, peneliti tidak menganggap bahwa
hubungan yang terjadi adalah sebabakibat, yaitu internet addiction
menyebabkan informan membuka warnet atau membuka warnet menyebabkaninforman
menjadi internet addicts. Peneliti menganggap ada asosiasi antara
kecanduan internet yang dialamiinforman dengan aktivitas membuka warnet yang
menguntungkan informan secara fisik.
Penemuan
peneliti ini juga sejalan dengan pendapat para pendukung konsep celebrity as
populist democracy. Konsep ini menyatakan bahwa teknologi media massa,
khususnya internet, menyediakan ruang bagi khalayakuntuk menjadi selebritis,
untuk mendapatkan ‘their 15 minutes of fame’ (Evans & Hesmondhalgh,
2005). Inidapat dilakukan oleh khalayak dengan meng-upload video di
situs-situs seperti Youtube, membuat personalpages, blogs, dsb.
Dan argumen ini didukung dengan pernyataan:
“Today’s celebrity culture is based on rewarding self-improvement
and efforts toward self-development, rather
than being a consequence of hierarchical privilege and elite
networks” (Budaya
selebriti kini berdasar pada
pemberian
penghargaan pada self-improvement dan usaha-usaha ke arah self-development,
daripada menjadi
sebuah
konsekuensi dari hak hirarkis dan jaringan para elit) (Evans & Hemondhalgh:
2005, hal. 15).
Penelitian -penelitian sebelumnya mengasosiasikan internet addiction
dengan depresi, kesepian, dsb. Dalampenelitian ini ditemukan bahwa internet
addiction disorder tidak hanya berhubungan dengan motivasi-motivasidiri
untuk mencari hiburan, melepaskan emosi, mencari teman yang memiliki persamaan
dengan penggunainternet, dan mencari informasi, tetapi juga mampu menjadi
sarana self-improvement penggunanya dan saranapula untuk melakukan construction
of identity.
SIMPULAN
Setelah menganalisis dan menginterpretasi hasil dari penelitian ini, simpulan
yang dapat diambil adalah bahwaada asosiasi antara bentuk parental
communication terhadap penggunaan Internet dengan penggunaan
Internetseseorang, dan Internet Addiction Disorder (IAD) berasosiasi
dengan mental engagement antara pecanduInternet dengan Internet, gratification
sought, kebutuhan untuk membangun identitas, dan kebutuhan untukmencapai self-improvement.
Sumber
:
P. Soetjipto, Helly.
2013. Pengujian Validitas Konstruk Kriteria Kecanduan Internet. Fakultas
Psikologi UGM. Volume 32, No. 2, 74-94
Santoso, Agus., 2008/2009.
Pola Perilaku Penemuan
Informasi (Information Seeking Behaviour) Mahasiswa
Universitas Airlangga. Surabaya
: Departemen Informasi
dan Perpustakaan – Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Airlangga.
(KK-2 Fis IIP 01/09 San p).
rdhyana R, Pratiwirdhyana. 2012.
Internet Addiction Disorder (Studi Deskriptif Mahasiswa Ilmu Sosial
Internet
Addicts. UNNAIR
0 komentar:
Posting Komentar