BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Setiap negara wajib
mensejahterakan masyarakatnya, tanpa terkecuali. Salah satu syaratnya adalah
dengan pertumbuhan ekonomi yang baik. Ibarat kapal, semakin besar dan baik
kapal tersebut, akan semakin banyak pula rakyat yang menikmatinya. Kenapa
ekonomi sebuah negara sangat penting, karena semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonominya, semakin tinggi pula tingkat stabilitas
keamanan dan politik di negara tersebut.
Beberapa
tahun yang lalu, para petinggi ASEAN bersepakat
membentuk sebuah pasar tunggal di Asia Tenggara, tepat pada tanggal 31 Desember 2015. Masyarakat
Ekonomi ASEAN, atau yang dikenal
dengan MEA, adalah usaha para pemimpin ASEAN untuk memperkokoh perekonomian di
kawasan Asia Tenggara. Alhasil semua negara ASEAN berlomba-lomba untuk mempersiapkan
langkah
strategis dalam sektor SDM,
infrastruktur, dan industri. Tak terkecuali dengan Indonesia, menurut Rostanti (2016), pemerintah
telah melakukan sejumlah upaya untuk meningkatkan kesiapan dan kompetensi
pekerja lokal dalam menghadapi masyarakat
ekonomi Asean (MEA). Upaya itu antara
lain menetapkan 85 standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) serta
akreditasi 725 balai latihan kerja dan lembaga pelatihan kerja swasta (LPKS).
Upaya
pemerintah tidak akan bejalan baik jika tidak ada kesinambungan dengan beberapa
unsur, seperti industri di dalam negeri, karena sektor
industri merupakan salah satu penopang dalam pertumbuhan ekonomi nasional (Chaniago dalam Anonim, 2015). Berkualitas tidaknya sebuah industri tidak luput dari
kualitas sumber daya manusia di dalamnya. Organisasi (industri) adalah suatu
sistem yang terdiri dari subsistem, yaitu satuan kerja yang besar seperti
divisi atau urusan. Satuan kerja yang besar ini terdiri dari satuan-satuan
kerja yang lebih kecil (subsistem),
seperti bagian. Setiap bagian terdiri dari satuan kerja yang lebih kecil
lagi, misalnya seksi, demikian seterusnya sampai ke satuan kerja yang
ditetapkan sebagai yang terkecil, yaitu tenaga kerja (Munandar, 2006).
Peran
tenaga kerja dalam perusahaan sangatlah sentral, berhasil tidaknya misi ataupun
visi perusahaan ditentukan oleh unsur manusia dalam melakukan pekerjaanya. Oleh
karena itu, harus ada balas jasa yang sepadan, supaya karyawan tetap
bersemangat dalam bekerja. Semangat kerja karyawan dalam negeri harus dijaga
kekonsistensiannya. Masuknya tenaga asing ke Indonesia adalah salah satu pemicu
persaingan. Berdasarkan Pambudhy (2016), data mengenai izin mempekerjakan
tenaga kerja asing (IMTA) pada periode Januari 2015, tercatat sebanyak 4.761
TKA yang bekerja lebih dari 6 bulan dan 2.604 TKA yang bekerja di bawah 6
bulan. Sedangkan di Februari 2015, ada sebanyak 2.898 TKA (lebih dari 6 bulan)
dan 1.871 TKA (di bawah 6 bulan). Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa semangat
atau etos kerja pekerja asing sangatlah tinggi, seperti dari Thiongkok dan
Jepang. Salah satu hal positif yang bisa di pelajari dari budaya orang jepang
adalah etos kerjanya yang selalu bersemangat dan pantang menyerah (Wibowo,
2015).
Semangat kerja
sendiri adalah usaha untuk melakukan pekerjaan secara giat sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan
lebih cepat dan lebih baik (Nitisemito, 1986).
Sejalan dengan pengertian dari Nitisemito, Chaplin (dalam Asnawi, 1999)
mendefinisikan semangat kerja adalah sikap dalam bekerja yang ditandai secara khas dengan adanya kepercayaan diri, motivasi diri
yang kuat untuk meneruskan
pekerjaan, kegembiraan, dan organisasi
yang baik.
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas semangat kerja yakni, tidak merasa
tertekan karena pekerjaan yang
diberikan, bahkan individu mencintai pekerjaannya. Selanjutnya ada hubungan
yang harmonis antara pimpinan dan bawahannya, khususnya yang setiap hari
berhubungan langsung. Berikutnya ada kepuasan ekonomi dan material. Kepuasan
terhadap pekerjaan dan tugasnya
sehari-hari, selanjutnya ketenangan mental karena ada jaminan hukum dan
kesehatan selama bekerja, dan yang terakhir ada rasa kemanfaatan bagi
organisasi (Suradinata dalam Asnawi, 1999). Dari faktor-faktor di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada dua faktor utama yang mempengaruhi semangat kerja yaitu,
faktor internal dan eksternal, dimana dasar dari faktor internal adalah kepribadian.
Kepribadian
berkembang jauh sebelum seseorang memasuki suatu organisasi, (Gibson, dkk,
1996). Kepribadian atau personality
dalam bahasa inggris, berasal dari bahasa yunani kuno, prospon
atau persona, yang artinya ‘topeng’
yang biasa dipakai artis dalam teater. Para artis bertingkah laku sesuai dengan
ekspresi topeng yang dipakainya, seolah-olah topeng mewakili ciri kepribadian tertentu. Jadi
konsep awal dari personality adalah
tingkah laku yang ditempatkan ke lingkungan sosial, kesan mengenai diri yang
diinginkan agar dapat ditangkap oleh lingkungan sosial (Alwisol, 2004).
Sedangkan menurut Alport (dalam Alwisol, 2004) kepribadian adalah organisasi
dinamik dalam sistem psikofisiologik seseorang yang menentukan model
penyesuaiannya yang unik dengan lingkungannya. Dari sekian banyak teori
kepribadian, teori yang komprehensif dan banyak dipakai adalah teori
kepribadian Big Five Personality atau teori lima faktor. Teori tersebut telah
digunakan untuk mengkaji sifat-sifat kepribadian dalam berbagai budaya
diseluruh dunia (Jess dan Feist ,2009). Hurtz dan Donovan (dalam Gregory,
2011), menegaskan lima besar faktor kepribadian sebagai alat yang penting dalam
memprediksi kinerja.
McCrae
dan Costa (dalam Jess dan Feist, 2009) setuju dengan Eysenck bahwa sifat dari
kepribadian adalah bipolar dan mengikuti distribusi lonceng, kebanyakan orang
akan memiliki skor yang berada dekat dengan titik tengah dari setiap sifat, dan
hanya sedikit orang yang memiliki skor pada titik ekstrem. Lima dimensi
kepribadian tersebut adalah opennes to
experience (O) atau keterbukaan atas pengalaman, conscientiusness (C) atau ketelitian, extraversion (E) atau ekstraversi, agreeableness (A) atau kesepakatan, dan neuroticism (N) atau
neurotisme. Apabila dilihat dari masing-masing sifat dari kelima dimensi
kepribadian dalam teori kepribadian big five personality, adalah dimensi extraversion dan conscientiusness yang memiliki hubungan paling besar terhadap
semangat kerja, karena jika karyawan cenderung memiliki kepribadian conscientiusness, karyawan tersebut
mempunyai kegairahan dan antusiasme dalam bekerja, sedangkan dimensi extraversion kepribadian karyawan cenderung
bersemangat dalam pekerjaannya. Selanjutnya, dimensi agreeablesness, opennes to
experience, dan neuroticism juga memiliki hubungan
dengan semangat kerja.
Dari
fenomena berikut, peneliti ingin mengetahui perbedaan semangat kerja berdasarkan ke lima dimensi teori big five personality terhadap karyawan
PT. Sumber Pangan Jaya.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbedaan semangat kerja berdasarkan big
five personality pada karyawan PT Sumber Pangan Jaya.
C. Manfaat
Penelitian
1.
Manfaat
Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
bahan masukan bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya dalam psikologi
industri dan organisasi. Serta dapat menjadi referensi kedepannya terkait
penelitian teori big five personality
terhadap semangat kerja.
2.
Manfaat
Praktis
a.
Bagi
karyawan
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan semangat kerja karyawan, khususnya
terhadap karyawan PT. Sumber Pangan Jaya.
b.
Bagi
perusahaan
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan
pertimbangan untuk membuat keputusan terkait peningkatan semangat kerja
karyawan dan supaya mendapatkan wawasan atau pengetahuan lebih terkait perekrutan
karyawan baru.
0 komentar:
Posting Komentar